Photo by: http://the-marketeers.com/archives/the-world-is-shaking-indonesia-is-standing.html |
Saya pergi ke pulau Sabang, pada tanggal 8 Maret 2013 yang
lalu. Antusiasme level saya mencapai 100% dikarenakan ini adalah kesempatan
pertama saya untuk bepergian keluar dari pulau Jawa. Berdebar-debar saya ingin
menghirup udara Sumatera. Well, lucky me ada teman saya yang mempunyai interest
yang sama, sehingga saya tidak perlu kesana seorang diri.
Saya berada di kota Sabang selama 2 malam 3 hari. Keindahan pulau
Weh membuat saya jatuh cinta. Tidak hanya itu, mendatangi Tugu 0 km Indonesia,
membuat semangat saya membuncah sebagai warga negara Indonesia. Apalagi menyaksikan
banyak sekali bendera Merah Putih dikibarkan oleh warga sekitar. Hati saya
selalu bergetar ketika melihat bagaimana warga di Sabang mengingat bumi pertiwi
Indonesia, meskipun jauh dari hingar bingar Pemerintahan di ibukota.
Disinilah
saya merasa malu sebagai warga negara yang seringkali pesimis dengan negara
Indonesia, padahal saya hidup di Jawa, dimana kemajuan dan pembangunan sangat
massive. Mau ngapa-ngapain gampang, fasilitas lengkap, apalagi sekarang saya
bekerja di Jakarta, dimana semuanya serba ada dan mudah. Sementara, orang-orang
di Sabang yang untuk mendapatkan full pasokan listrik saja susah (sering
terjadi pemadaman listrik), pasokan makanan juga susah (banyaknya popmie),
transportasi untuk mengangkut makanan mahal, mereka tetap bangga dan cinta
Indonesia. Disinilah saya trenyuh dan kembali memikirkan apakah arti
nasionalisme yang sesungguhnya.
Saya jadi cinta Indonesia. Saya bangga menjadi warga negara
Indonesia. Kekayaan alam dan juga penduduk yang luar biasa membuat saya kembali
mencintai negeri ini. Bukan berarti sebelumnya saya tidak cinta, hanya saja
kadarnya tidak sebesar setelah saya mengunjungi Sabang.
Setelah 3 hari di Sabang, saya bertolak menuju kota Banda
Aceh dan langsung terbang kembali ke Medan. Lucky me again, di Medan saya
berkesempatan untuk mengunjungi pulau Samosir ditengah-tengah Danau Toba. Waahh
setelah mengunjungi Danau Toba semakin jatuh cintalah saya ke pulau Sumatera. Sampai
pengen punya suami orang Batak, biar
nama belakang saya keren, seperti Situmorang, Sianturi, Butar Butar, Harahap
dan lain sebagainya. hehe
Dan puncak brainstorming konsep nasionalisme ini adalah
ketika saya bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Siantar di atas pesawat
yang akan membawa kami kembali ke
Jakarta. Awalnya saya memang tidak bisa duduk tenang dikarenakan AC-nya memang
dingin sekali. Bolak balik saya berdiri untuk mengecek AC mana yang di arahkan
ke saya, karena AC di atas kursi saya sudah mati.
Si abang Siantar yang saya temui dipesawat ini perawakan berandal sekali memang,
semacam anak nakal yang tidak suka mikir.
Eh ternyata ungkapan “don’t judge the
book by its cover” memang terbukti. Karena dari abang inilah konsep Nasionalisme
menjadi topik berat yang menguras energi otak saya untuk berpikir.
Setelah ba bi bu basa basi layaknya berbicara dengan
strangers on the plane, saya bertanyalah apa dia berasal dari Medan. Di jawablah
bahwa dia berasal dari Siantar. Otak saya langsung tertuju pada perjalanan ke
Danau Toba yang melewati Siantar dan juga pemandangan kota bersih yang damai
dan sejuk. Akhirnya nyerocoslah saya bahwa ini adalah perjalanan pertama saya
ke Sumatera, ke titik 0 km Indonesia dan sampai
pada pernyataan “saya cinta Indonesia” dan semangat nasionalisme saya bangkit kembali.
Tak disangka ditanggapilah pernyataan saya tersebut dengan
pertanyaan kembali “emang nasionalisme itu apa? Yang kaya gimana sih?”. Jujur hati
saya memang nasionalisme yang saya miliki sekarang adalah pada tahap “AKU CINTA”, “AKU BANGGA JADI ANAK
INDONESIA”.
Dengan santainya si abang bilang, “kenapa si Indonesia ini
ga bisa kelola negara-nya sendiri?, kenapa banyak kali perusahaan asing yang menguasai Indonesia. Kaya
sumber minyak nih ya, untuk ekplorasi dan research mencari sumber minyak itu
biayanya bisa sampai dengan 5 trilyun rupiah. Itupun kalo sumbernya ditemukan
dan bisa digunakan. Sekarang mana ada orang Indonesia yang mau ambil resiko
untuk invest kaya gitu. Eh ini malah ada duit negara 2.5 trilyun yang dikorupsi sama menteri-menteri. Apalah
mau-nya negeri ini. Tak seperti orang luar yang mau berkorban dan ambil resiko”.
Waduh si abang nyerocos panjang lebar gitu saya langsung
terdiam. Mikir banget.
Kemudian saya bertanyalah dengan nada Medan yang saya
pelajari selama 5 hari disana “memang kau kerja dimana bang? ke Jakarta mau kerja bang?”
“Oh aku memang bekerja di Arab, di salah satu perusahaan
minyak. Ga besar, perusahaan minyak
kecil aja. Aku pusing di negeri ini. Pusing liat pemberitaan media korupsi
dimana-mana yang ga henti-henti. Mending aku pergi sajalah daripada stress
disini. Andai bangsa kita mandiri. Mau ngurus visa ini ke Jakarta”.
Walah, kalau begitu mah kaburlah ini ceritanya si abang. Namun
alasannya pun juga tak bisa di salahkan.
“kau lihatlah itu ya, banyak kali perusahaan-perusahaan
asing yang masuk ke Indonesia. Coba lah itu semua kita kelola sendiri, pasti
majulah bangsa kita. Kaya research minyak ini, seharusnya semuanya orang
Indonesia yang menguasai. Gitulah maksudku dengan nasionalisme. Gak cuma
ngomong saja, tapi perbaikilah, miliki sendiri ini negri kita”.
Semakin dalamlah otakku berpikir. Benar kali lah ini abang
punya pemikiran. Waktu si abang ngomong konsep nasionalisme dia ini, saya langsung
pengen jadi PRESIDEN! Biar ga ada lagi yang korupsi, uang negara
sebanyak-banyaknya buat kepentingan rakyat. Tapi yaahh itu semua memang sulit
sekali adanya. Politik, power, kekuasaan sudah sangat kompleks. Apalah dan
siapalah saya.
Benar-benar ga nyangka si abang yang sangar muka berandal
ini, ternyata mikirnya serius banget.
Akhirnya, setelah otak berputar-putar diskusi dengan si
abang ini, saya berdamai lah dengan otak saya dan kemungkinan2 saya menjadi
pemimpin negeri ini, dimana sangat kecil kemungkinannya.
Saya bilang, “nasionalismeku mungkin memang tidak seberat
yang kau pikir bang, tapi setidaknya aku CINTA
dan BANGGA dengan negeriku. Aku akan mulai perubahan dari diriku sendiri. Seperti
travelling keliling Indonesia dan akan mempromosikannya ke teman-teman bahwa
Indonesia keindahan alamnya ga kalah kok dari negara lain. Apalah artinya
jalan-jalan liat gedung-gedung, taman-taman di negara tetangga kalo kita punya laut, gunung, langit yang tak
kalah indah dari mereka”.
"Bolehlah kau
capek dan kecewa dengan negerimu hingga harus pergi ke Arab, tapi tetap cinta
Indonesia ya Bang”
2 jam Medan-Jakarta pun tidak terasa dengan diskusi
abang-abang Siantar ini. Berkawan lah kami kemudian. Dan ini juga bagian dari
cinta Indonesia, berkawan dengan seluruh anak negeri. Horreyy..
Inilah aku yang cinta negeriku, INDONESIA!
No comments:
Post a Comment